TAN HANA DHARMA MANGRWA
@ronny_rontok (art director) - @dewadji_ratriarkha (philosophy of art) - @kholilisme (design art) - @duwekelek (lightning art)
Hari ini kita sebenarnya selalu berkubang dalam pengulangan perayaan dari kegiatan komunal, meski nyaris hanya dibedakan perihal tujuan tertentu namun pada akhirnya kita hanya sebatas melakukannya saja. Tindakan yang kita lakukan seringkali berujung pada perasaan hampa tanpa mempunyai makna. Alih-alih memperbaharui daya guna kejiwaan yang menginspirasi, tujuan akhir penyelenggaraan acara seremonial berpulang di pijakan rutinitas yang sama. Kita selalu berbangga terjebak dalam memori romantisme yang diulang-ulang. Secara perlahan tapi pasti serangkaian beragam perayaan tersebut telah kita tempatkan menjadi hal yang substansial.
Tan Hana Dharma Mangrwa. Mungkin sebagian khalayak sudah mengenal bahwa kata-kata aslinya diambil dari Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular, yaitu kelanjutan dari kalimat Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya kalau dijadikan satu kalimat berarti “Terpecah belahlah itu tetapi satu jugalah itu, tidak ada kerancuan dala m kebenaran.”
Tapi kali ini kesadaran untuk memilih titel karya instalasi ini justru dipicu dari dialog Adipati Karna dalam epos Mahabharata. “Urusan salah benar itu bukan urusan manusia. Saya setia pada negara Astina yang telah menjadi keluargaku yang baru, yang menghidupiku... . Ijinkan aku tetap setia pada dharmaku sebagi prajurit Astina. Tan Hana Dharma Mangrwa. Tidak ada dharma yang mendua. Kebenaran hanya milik Hyang Kuasa. Kumohon restumu untuk maju ke medan laga..” Karna menghaturkan sembah penghormatan terakhir.
Berbicara mengenai rebelitas yang kuat secara ikon dan karakter sekaligus terhubung dengan komunitas motor. Tokoh pewayangan Adipati Karna adalah sosok yang tepat dalam penggambarannya. Disamping reputasi perannya yang antagonis, karakter ini pula yang sangat lekat dengan latarbelakang kereta dan roda dari kisah pendidikan masa kecilnya, stigma hingga pertempuran akhir.
Deretan patung figuratif yang dibangun dalam instalasi ini menggambarkan aktifitas profesi pandé gangsa dan juru gusali beserta para panjak pada sebuah besalen pertukangan logam. Tubuhnya yang sedang bekerja dikesankan membara dalam balutan busana untarasanga. Seakan ingin menegaskan tema besar Color of Different dalam benturan yang tak terhindarkan maka adalah sebuah keniscayaan Cakra mahkota sosok sosok tersebut disajikan bertudung pelindung kepala yang telah direspon epik oleh para jagoan ilustrator terpilih. Sebuah simbol kesadaran kosmik yang terselubung oleh sarana perlindungan diri.
Memahami sejarah dan konteks ujaran di atas membuat kita bisa mengerti perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan. Di tanah Nusantara, perbedaan adalah keindahan yang menyatukan, karena semua perbedaan itu berujung pada titik kebenaran yang nyaris sama; Tan Hana Dharma Mangrwa. Sebuah ungkapan toleransi sekaligus pemenuhan sikap dan keteguhan tindakan menuju kesejatian diri.
Bara api semangat yang sama, abadi dan bergelora menembus lini masa hingga hari ini. Melalui nyala ide kreatif yang terbarukan, daya guna tersebut dihadirkan kembali. Kreator muda hari ini tidak hanya berperan sebagai pewaris pemenangan jaman tetapi juga lebih dari sekedar pembuat sesuatu sebagai pemecah masalah yang innovative di berbagai belahan dunia.